Halaman

Jumat, 01 Juni 2012

Hadits Maudhu'


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Kata Pengantar
Seluruh umat Islam, baik ahli naqli atau aqli telah sepakat bahwa hadist merupakan salah satu sumber hukum Islam dan bahwa seluruh umat Isalm diwajibkan mengikitinya sebagaimana al-Quran. Tegasnya bahwa al-Quran dan al-Hadist merupakan dua sumber hukum Islam yang tetap, sehingga yang orang Islam tidak mungkin mampu memahami syariat Islam, tanpa kembali kepada kedua sumber tersebut. Mujtahid  dan orang-orang alim pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari kedua sumber itu.[1]

B.   Rumusan Masalah

a)      Apakah yang dimaksud dengan Hadits Maudhu’?
b)      Apakah Ciri – Ciri dari Hadits Maudhu’?
c)      Apakah Hukum Meriwayatkan Hadits Maudhu’?

C.   Tujuan

a)      Mengetahui Apa yang dimaksud dengan Hadits Maudhu’.
b)      Mengetahui Ciri – Ciri dari Hadits Maudhu’.
c)      Mengetahui Hukum Meriwayatkan Hadits Maudhu’.

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Hadits Maudhu’
Secara etimologi kata Maudhu’ adalah isim maf’ul dari kata wadha’ayang berarti al-isqath ( menggugurkan), al-tark ( meninggalkan), al-iftira’ ( mengada-ngada). Sedangkan secara terminologi, menurut Ibn Shalah dan di ikuti oleh Nawawi, Hadist Maudhu’ adalah sesuatu Hadist yang diciptakan dan dibuat.[2]
Menurut istilah ahli Hadits, Hadits Maudhu’ adalah:
مَانُسِبَ اِلَي رَسُلِ اللهِ صَلَّي اللهُ عَليهِ وَسَلَّمَ اِخْتِلاَقًا وَكَذَبًا مِمَّا لَمْ يَقُلْهُ اَوْيُقِرْهُ وَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ الْمُخْتَلَقُ الْمَوْضُوْعِ
“Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah Saw. Secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan tidak memperbuatnya. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits maudhu’ ialah hadits yang dibuat-buat.
Sebahagian ulama mendefinisikan Hadits Maudhu’ adalah:
هُوَ الْمُخْتَلَعُ الْمَصْنُوْعُ الْمَنْسُوْبُ اِلَي رَسُوْلِ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ زَوْرًٰ وَ بُحْتَانًا سَوَٰ ءٌ كَانَ ذَٰ لِكَ عَمْدًٰ اَوْ خَطَأً
“Hadits yang diciptakan dan dibuat oleh seseorang (pendusta) yang dinisbahkan kepada Rasulullah secara apaksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak.”

B.   Ciri-Ciri Hadits Maudhu’[3]

a)      Ciri-ciri yang terdapat pada sanad.
a.       Pengakuan sendiri dari pembuat Hadist Maudu’. Maisarah ibn Abdir-Rabiah Al- Farisi mengaku, bahwa ia telah membuat Hadist maudu’ tentang keutamaan-keutamaan al-Quran , juga ia mengaku telah memaudu’kan 70 Hadist tentang keutamaan Ali R.a
b.      Kenyataan sejarah bahwa perawi itu tidak ditemukan/tidak sezaman dengan orang  yang dikatakan gurunya. Seperti, Ma’mun ibn Ahmad Al-Harawi mengaku mendengar hadist dari Hisyam ibn Hammar. Al-Hafidh ibn Hibban menanyakan: bilakah Ma’mun datang ke Negari Syam? Ma’mun menjawab: th 250. Maka Ibn Hibban mengatakan bahwa Hisyam itu meninggal pada tahun 245. Ma’mun menjawab, itu Hisyam yang lain.
c.       Keadaan perawi itu sendiri terkenal kedustaannya.

b)     Ciri-ciri yang terdapat pada matan
a.       Berlawanan terhadap akal. Misalnya :
من اتخذ د يكا ابيض لم يقربه شيطان

“ Barangsiapa memelihara ayam putih, niscaya tidak didekati sayitan”
b.      Berlawanan dengan al-Quran, contohnya;
“ Umur dunia itu 7000 tahun dan sekarang datang pada ribuan yang ketujuh”.
c.       Berlawanan dengan sunnah/Hadist Mutawatir, misalnya Hadist yang mendewa-dewakan orang yang memakai nama “Muhammad” atau “Ahmad”
“Bahwa tiap orang yang dinamakan Muhammad atau Ahmad tidak akan masuk neraka”.
                                                
“ Bahwa tiap orang yang dinamakan Muhammad atau Ahmad tidak akan masuk neraka”.
d.      Berlawanan dengan ijma’ yang dimufakati. Misalnya ; Hadist yang diperkuat oleh golongan Syiah untuk mempertahankan Ali R.a
Cara-cara mereka membuat Hadist Maudu’. Ada 3 cara membuat Hadist Maudu’ yaitu;
1.      Pembuatan hadist itu, membuatnya didorong oleh pemikirannya sendiri. Seperti;
“Perut adalah rumah penyakit, sedang membatasi makan adalah kepala segala obat”.
Al-Iraqi menjelaskan, bhwa perkataan ini, sama sekali tidak berasal daripada ucapan Nabi Saw, itu hanya diambil dari perkataan sebagian dokter/tabib.
2.      Meriwayatkan perkataan dari kata-katanya sendiri itu hukama atau ulama, kemudian dibangsakannya kepada Nabi Saw. Seperti Hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Abid-Duniya.
“Mencintai dunia adalah kepala segala kejahatan”.
Menurut Al-Iraqi, bahwa perkataan itu adalah perkataan Malik Bin Dinar.
3.      Yang dirawikan oleh perawinya bukan maksud memasukkan Hadist tetapi terjadi karena salah sangka, Umpamanya, Hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Ismail bin Muhammad At-Tulaikhi dari Tsabit bin Musa Al-Abid dari Syarik dari Al-Amasy dari Abu Sufyan dari Jabir dari Nabi Saw, ujarnya:
“ Barangsiapa yang banyak shalatnya di waktu malam niscaya bagus di siang hari”.

C.   Hukum  meriwayatkan Hadist Maudu’

a.       Sekali-kali tidak diperbolehkan meriwayatkan sesuatu Hadist maudu’ dengan menyandarkan kepada Nabi Saw kecuali ia menerangkan kepalsuan Hadist itu. Sabda Rasulallah Saw
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُعْتَمِدًٰ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“ barang siapa berbuat dusta terhadap diriku dengan sengaja, maka tersedialah tempat duduknya dalam neraka “

b.      Dalam segala keadaan dilarang membuat Hadist, baik dalam urusan hukum, urusan cerita-cerita, urusan rangsangan/targhib dan urusan ancaman/tarhib, yakni sengaja membuat-buat Hadist hukumnya haram.
مَنْ حَدَّثَ عَنِّ بِحَدِيْثٍ يَرَي أَنَّهُ كَاذِبًا فَهُوَ أَحَدُ الْكَذَّٰبِيْنَ
“ Barangsiapa menceritakan kepadaku sesuatu Hadist, sedang ia tahu itu bukan Hadsitku, maka masuklah ia ke dalam golongan orang dusta “
D.   Sebab-sebab timbulnya Hadist Maudu’
Dorong-dorongan yang menyebabkan mengada-ngadakan Hadist palsu banyak sekali, antara lain;[4]
a.       Perbuatan kaum zindik  ( yang pada lahirnya mereka Islam, tetapi bathinnya hendak merusak Islam). Hammad bin Zaid berkata : Bahwa kaum Zindik telah membuat Hadist palsu lebih kurang 14.000 Hadist.
b.      Karena saling mempertahankan ideologi golongan/partainya. Seperti
Ø  Golongan Syi’ah membuat Hadist Maudu’ untuk menentang dan menjelek-jelekkan golongan Muawiyah, seperti
إِذَٰ رَأَيْتُمْ مُعَاوِيَةً عَلَي مِنْبَرِيْ فَاقْتُلُوْهُ

“ Apabila kamu melihat Muawiyah berada di atas mimbarku maka bunuhlah ia”
c.       Karena kefanatikan dan kultus individu terhadap pemimpinnya. Umpamanya, mereka yang mendewa-dewakan Imam Abu Hanifah, dan membuat hadist Maudu’
سَيَكُوْنُ رَجُلٌ فِيْ أُمَّتِي يُقَالُ لَهُ اَبُوْ حَنِيفَةِ النُّعْمَانُ هُوَ سِرَاجٌ اُمَّتِي

“ Rasulullah Saw bersabda ; Bakal lahir seorang laki-laki dalam ummatku ini orang yang bernama Abu Hanifah An-Nu’man, sebagai pelita umatku”

d.      Karena maksud untuk menarik perhatian para pendengarnya, juru-juru dakwah/muballigh berani membuat kisah-kisah dan nasihat-nasihat.
e.       Karena maksud mencari-cari muka di hadapan para penguasa untuk mencari kedudukan atau untuk membenarkan pendiriannya.


E.   sejarah dan Perkembangan Hadits Maudhu’

Para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadist, apakah telah terjadi sejak masa Nabi Saw masih hidup, atau sesudah masa beliau. Di antara pendapat-pendapat tersebut adalah:[5]
a)      Sebagian para ahli berpendapat bahwa pemalsuan hadist telah terjadi sejak masa Rasulullah Saw masih hidup. Pendapat ini dikemukakan oleh Ahmad Amin. Argumen yang dikemukakan oleh Ahmad Amin adalah Hadist Nabi Saw yang menyatakan, bahwa barang siapa yang secara sengaja membuat berita bohong dengan mengatas namakan Nabi, maka hendaklah orang itu bersiap-sia menempati tempat duduknya di neraka. Hadist tersebut, menurut Ahmad Amin, memberikan gambaran bahwa kemungkinan besar telah terjadi pemalsuan Hadist pada Zaman Nabi Saw.
b)      Shalah al-Din al-Adhabi berpendapat bahwa pemalsuan Hadist yang sifatnya semata-mata melakukan kebohongan terhadap Nabi Saw, atau dalam pengertiannya yang pertama mengenai al-wadh’ sebagaimana yang telah diuraikan dimuka, dan berhubungan dengan masalah keduniawian telah terjadi pada zaman Nabi, dan hal itu dilakukan oleh  orang munafik.
c)      Kebanyakan Ulama Hadist berpendapat, bahwa pemalsuan Hadist baru terjadi untuk pertana kalinya adalah setelah 40 H,pada masa kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib, yaitu setelah terjadinya perpecahan politik antara kelompok Ali di satu pihak dan Muawiyah dengan pendukungnya di pihak lain.


Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belum terdapat bukti yang kuat tentang telah terjadinya pemalsuan Hadist pada masa Nabi Saw, demikian juga pada masa-masa sahabat sebelum pemerintahan Ali Bin Abi Thalib. Hal demikian adalah karena begitu kerasnya peringatan yang diberikan Nabi Saw terhadap orang yang berani mengatasnamakannya.

F.    Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Munculnya Hadits Maudhu’

Data sejarah menunjukkan bahwa pemalsuan Hadist tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam, bahkan jug dilakukan oleh orang-orang non-Islam. Banyak motif yang mendorong pembuatan Hadist Maudu’, diantaranya adalah:[6]

1)      Motif Politik
2)      Usah dari Kaum Zindik
3)      Sikap fanatik buta terhadap bangsa, suku, bangsa, negeri, atau pemimpin.
4)      Pembua cerita atau kisah-kisah
5)      Perbedaan pendapat dalam masalah fiqih atau Ilmu Kalam
6)      Semangat yang berlebihan dalam beribadah tanpa didasari ilmu pengetahuan
7)      Mendekatkan diri kepada para penguasa. Umpamanya, Ghayats ibn Ibrahim, yang ketika memasuki istana khalifah Al-Mahdi, dilihatnya Al-Mahdi sedang melaga burung merpati, maka Ghayats berkata, sabda Nabi “ tidak ada perlombaan kecuali dalam memanah, balapan unta, pacuan kuda, maka Ghayats menambahkan “atau burung merpati”.Menyadari perkataan Ghayats, Al-Mahdi akhirnya memerintahkan untuk menyembelih merpati tersebut, setelah memberi hadiah sejumlah 10.000 dirham kepada Ghayats.

Dari uraian diatas, terlihat bahwa ada di antara para pemalsu Hadist tersebut yang dengan sengaja menciptakan Hadist palsu dengan keyakinan dengan tindakannya itu diperbolehkan, atau ada pula yang tidak tahu tentang status pekerjaan itu. Ada di antaranya mempunyai tujuan positif, akan tetapi bagaimana pun alasan motif mereka, perbuatan memalsukan Hadist tersebut adalah tercela dan tidak dapat di terima.


G.  Upaya penanggulangan hadist maudhu’
Dalam penaggulangan Hadist-hadist Maudhu’ agar tidak berkembang dan semakin meluas, serta agar terpeliharanya Hadist-hadist Nabi Saw dari tercampur  dengan yang bukan Hadist, Para Ulama Hadist telah merumuskan langkah-langkag yang dapat mengantisipasi problema Hadist Maudhu’ ini. Langkah-langkah tersebut adalah:[7]
a.       Memelihara Sanad Hadist
b.      Meningkatkan kesungguhan dalam meneliti Hadist
c.       Menyelidiki dan membasmi kebohongan yang dilakukan terhadap Hadist
d.      Menerangkan keadaan para perawi
e.       Membuat kaidah-kaidah untuk menentukan Hadist Maudhu’

BAB III
PENUTUp
A.   Kesimpulan
Secara etimologi kata Maudhu’ adalah isim maf’ul dari kata wadha’ayang berarti al-isqath ( menggugurkan), al-tark ( meninggalkan), al-iftira’ ( mengada-ngada). Sedangkan secara terminologi, menurut Ibn Shalah dan di ikuti oleh Nawawi, Hadist Maudhu’ adalah sesuatu Hadist yang diciptakan dan dibuat
Sekali-kali tidak diperbolehkan meriwayatkan sesuatu Hadist maudu’ dengan menyandarkan kepada Nabi Saw kecuali ia menerangkan kepalsuan Hadist itu. Sabda Rasulallah Saw
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُعْتَمِدًٰ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“ barang siapa berbuat dusta terhadap diriku dengan sengaja, maka tersedialah tempat duduknya dalam neraka “
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadist, apakah telah terjadi sejak masa Nabi Saw masih hidup, atau sesudah masa beliau.

B.   Kritik dan Saran
Teman-teman sekalian, semoga makalah ini dapat berguna bagi kita dalam memahami Ulumul Qur’an, Khususnya dalam Hadits Maudhu’. Kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, kritik dan saran yang bersifat membangun dari teman teman sangat kami harapkan guna kesempurnaan makalah ini dimasa mendatang.




DAFTAR PUSTAKA


Yuslem Nawir, Ulumul Hadis, (Jakarta: PT.Mutiara Sumber Widya, 1997)
Zahri Mustafa, Kunci Memahami Musthalahul Hadis, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1980)
Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: CV. Pustaka setia, 1999)




[1] Mudasir,Ilmu Hadis,(CV.Pustaka Setia,Bandung,1999), h.169
[2] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,(PT.Nawir Yuslem, Jakarta, 1998), h. 297
[3] Ibid., h.100-104
[4] Ibid., h. 97-99
[5] Nawir Yuslem, opcit, h. 300-304
[6] Ibid, h.305-313
[7] Ibid, 321-324

Wawasan Nusantara


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Kata Pengantar

Wawasan Nusantara adalah suatu pandangan atau suatu keyakinan yang memandang rakyat, bangsa, negara dan Wilayah Nusantara baik darat, laut maupun udara sebagai suatu kesatuan yang utuh dan tidak bisa dipisah-pisahkan[1]. Wawasan Nusantara itu bertujuan mewujudkan kesatuan dalam segenap aspek kehidupan baik aspek alamiah geografis, keadaan dan segi sosial (ideologi politik, ekonomi, teknologi, Sosial Budaya dan pertahanan keamanan). Kemudian segi sosial dikenal dengan nama Panca Gatra, sedangkan yang meliputi segi alamiah tersebut dikenal dengan Tri Gatra. Kedalam Gatra ini (yang disebut Hasta Gatra) merupakan perwujudan dari pada sifat asasi dan falsafah Pancasila yang tergambar dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika[2].


B.   Rumusan Masalah
a)      Apakah yang dimaksud dengan Wawasan Nusantata?
b)      Apakah Tujuan Wawasan Nusantara?
c)      Faktor-faktor apakah yang mempengaruahi Wawasan Nusantara?



C.   Tujuan
a)      Mengetahui apa yang dimaksud dengan Wawasan Nusantara.
b)      Mengetahui apa Tujuan Wawasan Nusantara.
c)      Mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi Wawasan Nusantara.
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Wawasan Nusantara
Istilah wawasan berasal dari kata ‘wawas’ yang berarti pandangan, tinjauan, atau penglihatan inderawi. Akar kata ini membentuk kata ‘mawas’ yang berarti memandang, meninjau, atau melihat. Sedangkan ‘wawasan’ berarti cara pandangan cara tinjau, atau cara melihat. Sedangkan istilah Nusantara berasal dari kata ‘nusa’ yang berarti pulau-pulau, dan ‘antara’ yang berarti diapit diantara dua hal. Istilah Nusantara dipakai untuk menggambarkan kesatuan wilayah perairan dan gugusan pulau-pulau Indonesia yang terletak diantara samudra Pasifik dan samudra Indonesia yang terletak diantara benua Asia dan benua Australia.
Secar aumum wawasan nasional berarti cara pandang suatu bangsa tentang diri dan lingkungannya yang dijabarkan dari dasar falsafah dan sejarah bangsa itu sesuai dengan posisi dan kondisi geografi negaranya untuk mencapai tujuan atau cita-cita nasionalnya. Sedangkan Wawasan Nusantara mempunyai arti cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan geografi wilayah Nusantara yang menjiwai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan atau cita-cita nasionalnya. Dengan demikian Wawasan Nusantara berperan untuk membimbing bangsa Indonesia penyelenggaraan kehidupannya serta sebagai rambu-rambu dalam perjuangan mengisi kemerdekaannya. Wawasan Nusantara sebagai cara pandangn juga mengajarkan bagaimana pentingnya membina persatuan dan kesatuan dalam segenap kehidupan bangsa dan negara dalam mencapai tujuan dan cita-citanya[3].
Wawasan Nusantara adalah wawasan yang memandang rakyat, bangsa, negara dan wilayah nusantara darat, laut dan udara sebagai suatu kesatuan yang utuh dan tidak bisa dipisah-pisahkan[4].
Makna Wawasan Nusantara bagi kita adalah untuk memeperkuat rasa kekeluargaaan dan kebersamaan dalam persatuan serta merupakan kejelasan daripada semboyan kita Bhinneka Tunggal Ika. Dan perwujudan Wawasan Nusantara dalam Pembangunan Nasional adalah mencakup perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu Kesatuan Politik, satu kesatuan Sosial Budaya, satu kesatuan Ekonomi dan satu kesatuan Hankam[5].

B.   Tujuan Wawasan Nusantara
Tujuan Wawasan Nusantara dibagi menjadi dua tujuan, yaitu: tujuan nasional dan tujuan ke dalam. Tujuan nasional dapat dilihat dalam Pembentukan UUD RI 1945 yang berbunyai untuk membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Republik Indonesia.
Tujuan kedalam adalah mewujudkan kesatuan segenap aspek kehidupan baik alamiah maupun sosial. Dengan demikian maka kepentingan nasional Indonesia bertujuan menjunjung tinggi di samping kepentingan sendiri juga kempentingan lingkungan dimana Indonesia berada yaitu menyelenggarakan dan membina kesejahteraan, kedamaian dan budi luhur serta martabat manusia di seluruh dunia[6].
Wawasan Nusantara meliputi :
a)      Kesatuan Politik
Perwuudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatun politik, mengandung arti bahwa kebulatan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya merupakan satu kesatuan wilayah, wadah, ruang lingkup dan kesatuan matra seluruh bangsa, serta menjadi modal dan milik bersama bangsa. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan berbicara dalam berbagai bahasa daerah, memeluk dan meyakini berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus merupakan satu kesatuan bangsa yang bulat dalam arti yang seluas-luasnya. Bangsa Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa dan setanah air, serta mempunyai satu tekad dalam mencapai cita-cita bangsa[7].
Bahwa Pancasila adlah satu-satunya Falsafah serta Ideologi Bangsa dan Negara, yang melandasi, membimbing dan mengarahkan Bangsa menuju tujuannya. Bahwa seluruh Kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan Hukum dalam arti bahwa hanya ada satu Hukum Nasional yang mengabdi kepada Kepentingan Nasional[8].

b)      Kesatuan Sosial Budaya
Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan Sosial dan Budaya beratti bahwa masyarakat Indonesia adalah satu, perikehidupan bangsa harus merupakan kehidupan yang serasi dengan terdapatnya tingkat kemajuan masyarakat yang sama, merata dan seimbang serta adanay keselarasan kehidupan yang sesuai dengan kemajuan bangsa. Kesatuan Sosial Budaya berarti pula bahwa budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu, sedangkan corak ragam budaya yang ada menggambarkan kekayaan budaya bangsa yang menjadi modal dan landasan pengembangan budaya seluruhnaya, hasil-hasilnya harus dapat dinikmati oleh seluruh Bangsa Indonesia.

c)      Kesatuan Ekonomi
Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan Ekonomi mengandung arti bahwa kekayaan wilayah Nusantara baik potensial maupun efektif adalah modal dan milik bersama bangsa, bahwa keperluan hidup masyarakat harus tersedia merata di seluruh wilayah tanah air. Kesatuan Ekonomi berarti pula bahwa tingkat perkembangan Ekonomi harus selarsi dan seimbang di seluruh daerah-daerah dalam pengembangan kehidupan Ekonominya.
d)     Kesatuan Pertahanan Keamanan
Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan pertahanan dan keamanan mengandung arti bahwa ancaman terhadap satu pulau atau daerah pada hakikatnya merupakan ancaman terhadap seluruh Bangsa dan Negara. Dan menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam rangka pembelaan Negara dan Bangsa.

C.   Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Wawasan Nusantara
Faktor-faktor yang mempengaruhi Wawasan Nusantara adalah:
1.      Wilayah (Geografi)
a)      Asas Kepulauan (Atchipelagic Principle)
Kata ‘archipelago’ dan ‘archipelagic’ berasal dari kata Italia ‘archipelagos’. Akar katnya adalah ‘archi’ berarti terpenting, terutama , dalam pelagos berarti laut atau wilayah lautan. Jadi, archipelago dapat diartikan sebbagai lautan terpenting.
Lahirnya asas ‘archipelago’  mengandung pengertian bahwa pulau-pulau tersebut selalu dalam kesatuan utuh, sementara tempat unsur perairan atau lautan antara pulau-pulau berfungsi sebagai unsur penghubung dan bukan unsur pemisah. Asas dan wawasan Kepulauan ini dijumpai dalam pengertian The indian Archipelago. kata ‘archipelago’ pertama kali dipakai oleh John Crawford dalam bukunya The History of Indian archipelago (1820). Kata Indian, archipelagos diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda Indische Archipel, yang semula ditafsirkan sebagai wilayah kepulauan Andaman sampai marshanai.
b)      Kepulauan Indonesia
Sebutan “Indonesia” merupakan ciptaan ilmuwan J.R. Logan dalam Journal of the Indian Archipelago and East Asia (1850). Sir W.E Maxwell, seorang ahli hukum, juga memakainya dalam kegemarannya mempelajari rumpun Melayau. Pada tahun 1882 dia menerbitkan buku penuntun untuk bahasa itu dengan pembukaan yang memakai istilah’Indonesia’ semakin terkenal berkat peran Adolf Bastian, seorang etnolog, yang menegaskan arti kepulauan ini dalam bukunya Indonesian order die Inseln des Malaysichen Archipels (1884-1889).

c)      Konsepsi tentang Wilayah
Dalam perkembangn hukum laut internasional dikenal beberapa konsepsi mengenai pemilikan dan penggunaan wilayah laut sebagai berikut:
1)      Res Nullius, menyatakan bahwa laut itu tidak ada ayng memilikinya.
2)      Res Cimmunis, menyatakan bahwa laut itu adalah milik masyarakat dunia karena itu tidak dapat dimiliki oleh masing-masing negara.
3)      Mare Liberum, menyatakan bahwa wilayah laut adalah bebas untuk semua bangsa.
4)      Mare Clausum (The Right and Dominion Of the Sea), menyatakan bahwa hanya laut pantai saja yang dapat dimiliki oleh suatu negara sejauh yang dapat dikuasai dari darat (waktu itu kira-kira sejauh 3 mil).
5)      Archipelagic State Pinciples (asas Negara Kepulauan) yang menjadikan dasar dalam Konvensi PBB tentang hukum laut.
d)     Karakteristik Wilayah Nusantara
Kepulauan Indonesia terletak pada batas-batas astronomi sebagai berikut:
                        Utara   : + 60. 08’ LU
                        Selatan            : + 110 15’ LS
                        Barat   : + 940 45’ BT
                        Timur   : + 141o 05’ BT
Luas wilayah Indonesia seluruhnya adadlah 5.193.250 km2. Yang terdiri dari daratan seluas 2.027.087 km2 dan perairan 1273.166.163 km 2[9].





BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Istilah wawasan berasal dari kata ‘wawas’ yang berarti pandangan, tinjauan, atau penglihatan inderawi. Akar kata ini membentuk kata ‘mawas’ yang berarti memandang, meninjau, atau melihat. Sedangkan ‘wawasan’ berarti cara pandangan cara tinjau, atau cara melihat. Sedangkan istilah Nusantara berasal dari kata ‘nusa’ yang berarti pulau-pulau, dan ‘antara’ yang berarti diapit diantara dua hal. Istilah Nusantara dipakai untuk menggambarkan kesatuan wilayah perairan dan gugusan pulau-pulau Indonesia yang terletak diantara samudra Pasifik dan samudra Indonesia yang terletak diantara benua Asia dan benua Australia.
Tujuan Wawasan Nusantara dibagi menjadi dua tujuan, yaitu: tujuan nasional dan tujuan ke dalam. Tujuan nasional dapat dilihat dalam Pembentukan UUD RI 1945 yang berbunyai untuk membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Republik Indonesia.
Tujuan kedalam adalah mewujudkan kesatuan segenap aspek kehidupan baik alamiah maupun sosial. Dengan demikian maka kepentingan nasional Indonesia bertujuan menjunjung tinggi di samping kepentingan sendiri juga kempentingan lingkungan dimana Indonesia berada yaitu menyelenggarakan dan membina kesejahteraan, kedamaian dan budi luhur serta martabat manusia di seluruh dunia

B.   Kritik dan Saran
Teman-teman sekalian, semoga makalah ini dapat berguna bagi kita dalam memahami Civic Education, Khususnya dalam Wawasan Nusantara. Kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, kritik dan saran yang bersifat membangun dari teman teman sangat kami harapkan guna kesempurnaan makalah ini dimasa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Kaelan, Achmad Zubadi. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi (Paradigma. Yogyakarta. 2007)
Hidayat Imam, Murdiona. Geopolitik. (Usahana Nasional. Surabaya. 1983)
Ketetapan MPR dan GBHN Tahun 1988 (Beringin Jaya. Semarang)
Kansil. Latihan Ujian Pancasila Untuk Perguruan Tinggi. (Grafika. Jakarta. 1996)
            Hidup Berbangsa Dan Bernegara.(Erlangga. Jakarta. 1993)
Rozak Abdul, Ubaidillah dkk. Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi,HAM, dan Masyarakat Madani. Terbitan Ke-2 (IAIN Pers. Medan.2002)


[1] Kansil, Latihan Ujian Pancasila Untuk Perguruan Tinggi,(Sinar Grafika, jakarta,1996) H 216
[2] Imam Hidyat, Murdioyono, Geopolitik,(Usaha Nasional, Surabaya,1983) H 93
[3] Kaelan, Achmad Zubadi, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi,(Paradigma,Yogyakarta,2007) H124
[4] Kansil,  Hidup Berbangsa Dan Bernegara,(Erlangga, Jakarta, 1993) H 83
[5] Kansil, Latihan Ujian Pancasila.......H 216
[6] Imam Hidyat, Murdioyono, Geopolitik... H 102
[7] Kansil,  Hidup Berbangsa...... H 83
[8] KetetapanMPR dan GBHN 1988(Beringin Jaya, Semarang,1988) H 14
[9] Kaelan, Achmad Zubadi, Pendidikan Kewarganegaraan....... H 128