Halaman

Senin, 24 September 2012

Hakikat Sebuah Kebahagiaan

google.com



Kebahagiaan adalah sebuah ungkapan yang didambakan oleh setiap anak manusia di muka bumi ini. Sama halnya dengan ketika seseorang mengatakan kepada orang lain sebuah ungkapan, siapa yang mau senang, tenteram, kaya, cantik, ganteng, punya rumah mewah, mobil bagus, anak-anak yang cantik sholih dan sholihah, rumah tangga yang bahagia, aman dan damai, punya istri atau suami yang baik dan penuh pengertian dll. Sesungguhnya ungkapan-ungkapan seperti ini tidak usah dijawab dan tidak membutuhkan jawaban, karena jawaban yang akan diucapkan dan terdengar sudah diketahui. Tetapi apakah semua dan setiap orang paham dan mengerti akan arti dan hakikat yang sebenarnya dari sebuah kebahagiaan tersebut.
Kebahagiaan atau bahagia dalam bahasa Arab disebut dengan al-Hasanah, al-Farhu, as-Sa’adah, as-Sakinah, atau al-Itmi’nan. Dalam bahasa Inggris kita sebut dengan happy, glad atau wonderful. Terlepas dari bahasa manapun juga, mungkin perlu kita mempertanyakan diri kita sendiri, “Apakah kita sudah termasuk orang yang bahagia ?”, adalah sebuah pertanyaan yang layak bagi diri kita masing-masing. Mungkin diantara kita ada yang menganggap dirinya sudah bahagia dengan persepsinya dan ada juga mungkin orang yang menganggap dirinya tidak pernah menemukan dan merasakan kebahagiaan. Masing-masing dari setiap manusia telah ditakdirkan oleh yang maha kuasa berada diantara dua keadaan, yakni bahagia dan susah, senang dan sedih, kaya dan miskin, cantik dan jelek, kaya dan miskin yang semuanya tidak dapat terpisahkan dan tidak bisa untuk dihindari oleh manusia. Dari keadaan tersebut dapat berubah dan dirubah hanya terjadi oleh manusia itu sendiri. Sesungguhnya Allah tidak membebani dan menjadikan kesusahan, kesedihan, kemiskinan itu sebagai takdir akhir bagi manusia. Bagi mereka yang berfikir dan memahaminya itu semua adalah suatu keadaan dimana manusia harus berbuat, berusaha dan meyakini bahwa Allah menguji kesabaran makhluk ciptaan-Nya.
Ada orang merefleksikan kebahagiaannya dengan membuat atau membeli rumah mewah, mobil mewah, pergi wisata ke luar negeri, atau pesta pora dengan gelimangan hartanya. Tetapi itupun belum membuat mereka bahagia. Ada orang yang memiliki perusahaan besar, tokoh yang terkemuka, jabatan tinggi, orang yang tersohor dinegerinya, namun ternyata kebahagiaan itu belum juga menyertai mereka. Apatah lagi orang yang tidak memiliki apa-apa didunia ini, kebahagiaan itu lebih jauh lagi dari mereka. Jika demikian ternyata ukuran kebahagiaan itu bukanlah terletak pada banyaknya harta atau selalu dipandang orang lain atau yang lainnya. Lantas dimanakah letak kebahagiaan itu dan bagaimana pula kita dapat mewujudkannya..?
Kebahagiaan adalah kondisi jiwa ketika seseorang mampu melakukan suatu perbuatan yang bernilai dan luhur. Ia merupakan kekuatan batin yang memancarkan ketenangan dan kedamaian, merupakan karunia Allah swt. yang membuat jiwa lapang dan bergembira. Bahagia adalah kejernihan hati, kebersihan prilaku dan keelokan ruhani. Hal itu merupakan pemberian Allah swt. yang diberikan kepada siapa saja yang melakukan perbuatan terpuji. kebahagiaan adalah rasa ridha yang mendalam dan sikap qana'ah. Kebahagiaan itu kelapangan jiwa, bahagia tatkala kita bisa membuat senang hati orang lain, menyungging senyum di wajah, dan kita merasa lega tatkala dapat berbuat baik kepada sesama, merasa nikmat ketika kita bersikap baik kepada mereka. Kebahagiaan adalah membuang jauh segala pikiran negatif dan mengisinya dengan pikiran yang positif. Ia merupakan sebuah kekuatan yang mampu menghadapi berbagai tekanan dan sekaligus mencari solusi bukan berdasarkan emosi. Kebahagian itu ada pada ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, ada dalam meninggalkan kebencian, kedengkian dan sikap tamak terhadap kepemilikan orang lain. Bahagia itu terdapat dalam dzikir kepada Allah swt, syukur kepada-Nya dan memperbagus ibadah kepada-Nya. Dan kebahagiaan hakiki adalah meraih surga dan terbebas dari api neraka.
Ada beberapa ungkapan tentang kebahagiaan yang menjadi patokan dan pelajaran bagi setiap orang yang mau meraihnya diantaranya adalah :
v Orang yang berbahagia adalah orang yang mengambil pelajaran dari orang lain dan orang yang celaka adalah orang yang dijadikan pelajaran oleh orang lain.
v Bahagia adalah jika kita senang untuk berbuat kebaikan, bukan dengan berbuat apa saja yang kita senangi.
v Orang bahagia adalah orang yang mengambil pelajaran dari masa lalu dan berhati-hati terhadap dirinya.
v Orang bahagia adalah yang mau mengambil faedah dari pengalaman masa lalu, bersemangat pada hari ini dan optimis menyambut masa depan.
v Kebahagiaan itu diraih dengan menjaga lisan.
v Seseorang tidak akan meraih kebahagiaan kecuali jika dia hidup merdeka, terbebas dari cengkraman syahwatnya serta mampu menahan hawa nafsunya.
v Kesungguhan kita dalam mencintai ketaatan, hati yang selalu kita hadapkan ke hadirat Allah swt. dan kehadiran hati ketika sedang beribadah merupakan indikasi cepatnya kebahagiaan.
v Kebahagiaan itu adalah dapat menghargai dan mencintai orang lain seperti mana kita menghargai dan mencintai diri kita sendiri
untuk mengetahui kebahagiaan itu pada diri seseorang ada tiga tanda yang terlahir pada diri seseorang tersebut, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnul Qayyim al-Jauziy rahimahullah. Beliau menyebutkan tiga perkara yaitu :
1. Jika mendapatkan nikmat, dia bersyukur.
2. Jika mendapatkan ujian, dia bersabar.
3. Jika berbuat dosa, dia beristighfar.
Kemudian apa saja langkah untuk menggapai kebahagiaan tersebut, di antara langkah-langkah yang yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan dan kesuksesan seseorang adalah sebagai berikut:
1. Memiliki Iman yang kuat kepada Allah swt
Tidak ada kebahagiaan tanpa iman kepada Allah subhanahu wata’ala, bahkan kebahagiaan itu akan bertambah seiring dengan bertambahnya iman seseorang kepada Allah subhanahu wata’ala, dan akan melemah dan berkurang bersamaan dengan lemahnya iman kepada-Nya. Apabila iman semakin kuat, maka makin besar pula kabahagiaan. Sebaliknya jika ia melemah, maka kegoncangan dan pikiran negatif akan bertambah yang dapat membawa kepada pahit dan binasanya kehidupan. Orang yang beriman bahwa Allah subhanahu wata’ala itu Maha Kuasa tanpa batas, maka dia tidak akan dirundung duka, tidak dibuat sedih oleh berbagai masalah karena dia mempunyai tempat bersandar yang kuat, ketika sedang ditimpa suatu ujian dan kesulitan. Iman dengan qadha' dan qadar akan menumbuhkan sikap ridha dalam hati, kelapangan jiwa dan ketenangan. Oleh karena itu Nabi Muhammad saw bersabda, "Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, sesungguhnya seluruh urusannya adalah baik. Jika ditimpa kelapangan, maka dia bersyukur dan itu adalah baik baginya. Dan jika ditimpa kesempitan, maka dia bersabar dan itu pun baik baginya.” (HR Muslim)
2. Meneladani orang-orang yang sholih dan sukses
Yang dimaksudkan di sini adalah orang yang telah memberikan sumbangsih yang besar dan luar biasa bagi umat manusia dan dia adalah orang yang beriman kepada Allah subhanahu wata’ala. Yang pertama dan utama adalah panutan kita Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan mengikuti jalannya, maka seseorang akan bahagia dan dengan meninggalkan petunjuk dan sunnahnya, maka seseorang akan celaka.
3. Memahami arti sebuah kehidupan
Hidup pasti akan menghadapi masalah, mendapati kesusahan dan pasti ada rintangan dan ujian. Semua ini merupakan ketetapan dari Allah swt. terhadap manusia, supaya diketahui mana orang yang lebih baik amalnya. Maka wajib bagi kita untuk mengenal karakteristik hidup ini dan menerima sebagaimana wajarnya dan tidak menutup diri untuk menghadapi ketentuan Allah, menghadapi yang tidak kita senangi dengan sesuatu yang dapat menghilangkannya. Mengetahui permasalahan ini bukan berarti pasrah dan putus asa, tetapi justru bersikap sebaliknya.
4. Mengubah Kebiasaan Negatif Menjadi Positif
Dr. Ahmad al-Bara' al-Amiri mengatakan bahwa memulai kebiasaan baru yang bersifat aqliyah/rasional (bisa dinalar dan dipikirkan) itu tidak sulit, dibutuhkan kira-kira 21 hari. Dalam hari-hari tersebut kita berfikir, berbincang-bincang, lalu mengusahakan segala yang bisa mendukung untuk terwujudnya kebiasaan baru itu, dan terakhir kita menggambarkan dengan jelas dan sempurna bahwa diri kita telah menjadi yang kita inginkan. Jika kita telah berfikir bahwa kita telah menjadi yang baru sebagaimana kita kehendaki, maka gambaran ini secara bertahap akan menjadi sebuah realita. Hal ini seperti diungkapkan bahwa "al hilm bittahallum wal ilm bitta'allum" sikap lembut dicapai dengan selalu berusaha lembut dan ilmu itu diraih dengan belajar. (Durus nafsiyah li an-najah wa at-tafawwuq).
5. Memiliki tujuan hidup yang mulia
Banyak orang yang celaka karena dia tidak memiliki sasaran dan tujuan yang dia usahakan agar terealisasi. Atau dia punya tujuan tetapi bukan sesuatu yang mulia dan tinggi sehingga dia tidak merasa bahagia tatkala berusaha menggapainya. Sedangkan tujuan yang mulia, maka akan menjadikan seseorang merasa bahagia ketika sedang berusaha untuk mencapainya.
6. Berusaha untuk meringankan derita
Orang hidup pasti mengalami musibah dan derita, namun tak selayaknya musibah itu disikapi sebagai akhir dari segalanya, dan jangan beranggapan bahwa hanya dirinyalah yang mendapatkan ujian hidup. Bahkan selayaknya dia memperingankan musibah dan tidak terlalu membesar-besarkannya. Istilah lain, “masalah besar dikecilkan dan masalah kecil dihilangkan”. Hal sepele jangan dibuat resah dan dibesar-besarkan.
7. Kebahagiaan sebenarnya ada pada diri kita sendiri
Jika bahagia itu ada pada diri kita, maka mengapa harus jauh-jauh mencarinya, karena setiap manusia punya kekuatan dan potensi bahagia, tetapi kebanyakan mereka tidak mau melihatnya. Sebabnya adalah karena dia tidak pernah memperhatikan diri sendiri, tetapi sibuk melihat orang lain. Kebahagiaan terkadang ada di depan mata, tetapi kita tidak mengetahuinya, sehingga justru mencarinya lagi kepada yang lebih jauh dan semakin jauh.
Sungguh berbahagialah bagi mereka yang telah merasakan kebahagiaan dalam hidupnya, karena yang dicari dalam hidup ini adalah sebuah kata atau ungkapan yakni, “kebahagiaan”, baik didunia maupun diakherat, “Hasanah fi ad-Dunya wa Hasanah fi al-Akhiroh”. Demikian makna hakikat dari sebuah kebahagiaan, semoga bermanfaat dan menjadi I’tibar bagi kita semua dalam mengarungi kehidupan yang hanya sementara ini. Wallahu A’lam bi as-Showab.

ASAL USUL KUMANDANG ADZAN


ASAL USUL KUMANDANG ADZAN
( Sebagai panggilan shalat )

( Riwayat : Anas r.a; Abu Dawud; Al Bukhari )
Seiring dengan berlalunya waktu, para pemeluk agama Islam yang semula sedikit, bukannya semakin surut jumlahnya. Betapa hebatnya perjuangan yang harus dihadapi untuk menegakkan syiar agama ini tidak membuatnya musnah. Kebenaran memang tidak dapat dmusnahkan. Semakin hari semakin bertambah banyak saja orang-orang yang menjadi penganutnya.
Demikian pula dengan penduduk dikota Madinah, yang merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam pada masa-masa awalnya. Sudah sebagian tersebar dari penduduk yang ada dikota itu sudah menerima Islam sebagai agamanya. Ketika orang-orang Islam masih sedikit jumlahnya, tidaklah sulit bagi mereka untuk bisa berkumpul bersama-sama untuk menunaikan sholat berjama`ah. Kini, hal itu tidak mudah lagi mengingat setiap penduduk tentu mempunyai ragam kesibukan yang tidak sama. Kesibukan yang tinggi pada setiap orang tentu mempunyai potensi terhadap kealpaan ataupun kelalaian pada masing-masing orang untuk menunaikan sholat pada waktunya. Dan tentunya, kalau hal ini dapat terjadi dan kemudian terus-menerus berulang, maka bisa dipikirkan bagaimana jadinya para pemeluk Islam. Ini adalah satu persoalan yang cukup berat yang perlu segera dicarikan jalan keluarnya.
Pada masa itu, memang belum ada cara yang tepat untuk memanggil orang sholat. Orang-orang biasanya berkumpul dimasjid masing-masing menurut waktu dan kesempatan yang dimilikinya. Bila sudah banyak terkumpul orang, barulah sholat jama`ah dimulai. Atas timbulnya dinamika pemikiran diatas, maka timbul kebutuhan untuk mencari suatu cara yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mengingatkan dan memanggil orang-orang untuk sholat tepat pada waktunya tiba. Ada banyak pemikiran yang diusulkan. Ada sahabat yang menyarankan bahwa manakala waktu sholat tiba, maka segera dinyalakan api pada tempat yang tinggi dimana orang-orang bisa dengan mudah melihat ketempat itu, atau setidak-tidaknya asapnya bisa dilihat orang walaupun ia berada ditempat yang jauh. Ada yang menyarankan untuk membunyikan lonceng. Ada juga yang mengusulkan untuk meniup tanduk kambing. Pendeknya ada banyak saran yang timbul.
Saran-saran diatas memang cukup representatif. Tapi banyak sahabat juga yang kurang setuju bahkan ada yang terang-terangan menolaknya. Alasannya sederhana saja : itu adalah cara-cara lama yang biasanya telah dipraktekkan oleh kaum Yahudi. Rupanya banyak sahabat yang mengkhawatirkan image yang bisa timbul bila cara-cara dari kaum kafir digunakan. Maka disepakatilah untuk mencari cara-cara lain. Lantas, ada usul dari Umar r.a jikalau ditunjuk seseorang yang bertindak sebagai pemanggil kaum Muslim untuk sholat pada setiap masuknya waktu sholat. Saran ini agaknya bisa diterima oleh semua orang, Rasulullah SAW juga menyetujuinya. Sekarang yang menjadi persoalan bagaimana itu bisa dilakukan ? Abu Dawud mengisahkan bahwa Abdullah bin Zaid r.a meriwayatkan sbb : "Ketika cara memanggil kaum muslimin untuk sholat dimusyawarahkan, suatu malam dalam tidurku aku bermimpi. Aku melihat ada seseorang sedang menenteng sebuah lonceng. Aku dekati orang itu dan bertanya kepadanya apakah ia ada maksud hendak menjual lonceng itu. Jika memang begitu aku memintanya untuk menjual kepadaku saja. Orang tersebut malah bertanya," Untuk apa ?
Aku menjawabnya,"Bahwa dengan membunyikan lonceng itu, kami dapat memanggil kaum muslim untuk menunaikan sholat." Orang itu berkata lagi,"Maukah kau kuajari cara yang lebih baik ?" Dan aku menjawab " Ya !" Lalu dia berkata lagi, dan kali ini dengan suara yang amat lantang ," Allahu Akbar,?Allahu Akbar?.."
Ketika esoknya aku bangun, aku menemui Rasulullah SAW dan menceritakan perihal mimpi itu kepada beliau. Dan beliau berkata,"Itu mimpi yang sebetulnya nyata. Berdirilah disamping Bilal dan ajarilah dia bagaimana mengucapkan kalimat itu. Dia harus mengumandangkan adzan seperti itu dan dia memiliki suara yang amat lantang." Lalu akupun melakukan hal itu bersama Bilal." Rupanya, mimpi serupa dialami pula oleh Umar r.a, ia juga menceritakannya kepada Rasulullah SAW . Nabi SAW bersyukur kepada Allah SWT atas semua ini.