Muhammad Iqbal Setiawan
Rabu, 02 Oktober 2013
Senin, 01 Oktober 2012
Muhammad Iqbal Setiawan: Motivasi Hari ini
Muhammad Iqbal Setiawan: Motivasi Hari ini: Seluruh penumpang di dalam bus merasa simpati melihat seorang wanita muda dengan tongkatnya meraba-raba menaiki tangga bus. Dengan tanganny...
Senin, 24 September 2012
Hakikat Sebuah Kebahagiaan
google.com
Kebahagiaan adalah sebuah ungkapan
yang didambakan oleh setiap anak manusia di muka bumi ini. Sama halnya dengan
ketika seseorang mengatakan kepada orang lain sebuah ungkapan, siapa yang mau
senang, tenteram, kaya, cantik, ganteng, punya rumah mewah, mobil bagus,
anak-anak yang cantik sholih dan sholihah, rumah tangga yang bahagia, aman dan
damai, punya istri atau suami yang baik dan penuh pengertian dll. Sesungguhnya
ungkapan-ungkapan seperti ini tidak usah dijawab dan tidak membutuhkan jawaban,
karena jawaban yang akan diucapkan dan terdengar sudah diketahui. Tetapi apakah
semua dan setiap orang paham dan mengerti akan arti dan hakikat yang sebenarnya
dari sebuah kebahagiaan tersebut.
Kebahagiaan atau bahagia dalam
bahasa Arab disebut dengan al-Hasanah, al-Farhu, as-Sa’adah,
as-Sakinah, atau al-Itmi’nan. Dalam bahasa Inggris kita sebut
dengan happy, glad atau wonderful. Terlepas dari bahasa
manapun juga, mungkin perlu kita mempertanyakan diri kita sendiri, “Apakah kita
sudah termasuk orang yang bahagia ?”, adalah sebuah pertanyaan yang layak bagi
diri kita masing-masing. Mungkin diantara kita ada yang menganggap dirinya
sudah bahagia dengan persepsinya dan ada juga mungkin orang yang menganggap
dirinya tidak pernah menemukan dan merasakan kebahagiaan. Masing-masing dari
setiap manusia telah ditakdirkan oleh yang maha kuasa berada diantara dua
keadaan, yakni bahagia dan susah, senang dan sedih, kaya dan miskin, cantik dan
jelek, kaya dan miskin yang semuanya tidak dapat terpisahkan dan tidak bisa
untuk dihindari oleh manusia. Dari keadaan tersebut dapat berubah dan dirubah
hanya terjadi oleh manusia itu sendiri. Sesungguhnya Allah tidak membebani dan
menjadikan kesusahan, kesedihan, kemiskinan itu sebagai takdir akhir bagi
manusia. Bagi mereka yang berfikir dan memahaminya itu semua adalah suatu
keadaan dimana manusia harus berbuat, berusaha dan meyakini bahwa Allah menguji
kesabaran makhluk ciptaan-Nya.
Ada orang merefleksikan
kebahagiaannya dengan membuat atau membeli rumah mewah, mobil mewah, pergi
wisata ke luar negeri, atau pesta pora dengan gelimangan hartanya. Tetapi
itupun belum membuat mereka bahagia. Ada orang yang memiliki perusahaan besar,
tokoh yang terkemuka, jabatan tinggi, orang yang tersohor dinegerinya, namun
ternyata kebahagiaan itu belum juga menyertai mereka. Apatah lagi orang yang
tidak memiliki apa-apa didunia ini, kebahagiaan itu lebih jauh lagi dari
mereka. Jika demikian ternyata ukuran kebahagiaan itu bukanlah terletak pada
banyaknya harta atau selalu dipandang orang lain atau yang lainnya. Lantas
dimanakah letak kebahagiaan itu dan bagaimana pula kita dapat mewujudkannya..?
Kebahagiaan adalah kondisi jiwa
ketika seseorang mampu melakukan suatu perbuatan yang bernilai dan luhur. Ia
merupakan kekuatan batin yang memancarkan ketenangan dan kedamaian, merupakan
karunia Allah swt. yang membuat jiwa lapang dan bergembira. Bahagia adalah
kejernihan hati, kebersihan prilaku dan keelokan ruhani. Hal itu merupakan
pemberian Allah swt. yang diberikan kepada siapa saja yang melakukan perbuatan
terpuji. kebahagiaan adalah rasa ridha yang mendalam dan sikap qana'ah.
Kebahagiaan itu kelapangan jiwa, bahagia tatkala kita bisa membuat senang
hati orang lain, menyungging senyum di wajah, dan kita merasa lega tatkala
dapat berbuat baik kepada sesama, merasa nikmat ketika kita bersikap baik
kepada mereka. Kebahagiaan adalah membuang jauh segala pikiran negatif dan
mengisinya dengan pikiran yang positif. Ia merupakan sebuah kekuatan yang mampu
menghadapi berbagai tekanan dan sekaligus mencari solusi bukan berdasarkan
emosi. Kebahagian itu ada pada ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, ada
dalam meninggalkan kebencian, kedengkian dan sikap tamak terhadap kepemilikan
orang lain. Bahagia itu terdapat dalam dzikir kepada Allah swt, syukur
kepada-Nya dan memperbagus ibadah kepada-Nya. Dan kebahagiaan hakiki adalah
meraih surga dan terbebas dari api neraka.
Ada beberapa ungkapan tentang
kebahagiaan yang menjadi patokan dan pelajaran bagi setiap orang yang mau
meraihnya diantaranya adalah :
v Orang yang berbahagia adalah orang yang mengambil
pelajaran dari orang lain dan orang yang celaka adalah orang yang dijadikan
pelajaran oleh orang lain.
v Bahagia adalah jika kita senang untuk berbuat
kebaikan, bukan dengan berbuat apa saja yang kita senangi.
v Orang bahagia adalah orang yang mengambil pelajaran
dari masa lalu dan berhati-hati terhadap dirinya.
v Orang bahagia adalah yang mau mengambil faedah dari
pengalaman masa lalu, bersemangat pada hari ini dan optimis menyambut masa
depan.
v Kebahagiaan itu diraih dengan menjaga lisan.
v Seseorang tidak akan meraih kebahagiaan kecuali jika
dia hidup merdeka, terbebas dari cengkraman syahwatnya serta mampu menahan hawa
nafsunya.
v Kesungguhan kita dalam mencintai ketaatan, hati yang
selalu kita hadapkan ke hadirat Allah swt. dan kehadiran hati ketika sedang
beribadah merupakan indikasi cepatnya kebahagiaan.
v Kebahagiaan itu adalah dapat menghargai dan mencintai
orang lain seperti mana kita menghargai dan mencintai diri kita sendiri
untuk mengetahui kebahagiaan itu pada diri seseorang
ada tiga tanda yang terlahir pada diri seseorang tersebut, sebagaimana
disebutkan oleh Imam Ibnul Qayyim al-Jauziy rahimahullah. Beliau
menyebutkan tiga perkara yaitu :
1. Jika
mendapatkan nikmat, dia bersyukur.
2. Jika
mendapatkan ujian, dia bersabar.
3. Jika berbuat
dosa, dia beristighfar.
Kemudian apa saja langkah untuk menggapai kebahagiaan
tersebut, di antara langkah-langkah yang yang akan mengantarkan kepada
kebahagiaan dan kesuksesan seseorang adalah sebagai berikut:
1. Memiliki Iman yang kuat kepada Allah swt
Tidak ada kebahagiaan tanpa iman
kepada Allah subhanahu wata’ala, bahkan kebahagiaan itu akan bertambah
seiring dengan bertambahnya iman seseorang kepada Allah subhanahu wata’ala,
dan akan melemah dan berkurang bersamaan dengan lemahnya iman kepada-Nya.
Apabila iman semakin kuat, maka makin besar pula kabahagiaan. Sebaliknya jika
ia melemah, maka kegoncangan dan pikiran negatif akan bertambah yang dapat
membawa kepada pahit dan binasanya kehidupan. Orang yang beriman bahwa Allah subhanahu
wata’ala itu Maha Kuasa tanpa batas, maka dia tidak akan dirundung duka,
tidak dibuat sedih oleh berbagai masalah karena dia mempunyai tempat bersandar
yang kuat, ketika sedang ditimpa suatu ujian dan kesulitan. Iman dengan qadha'
dan qadar akan menumbuhkan sikap ridha dalam hati, kelapangan jiwa dan
ketenangan. Oleh karena itu Nabi Muhammad saw bersabda, "Sungguh
menakjubkan urusan seorang mukmin, sesungguhnya seluruh urusannya adalah baik.
Jika ditimpa kelapangan, maka dia bersyukur dan itu adalah baik baginya. Dan
jika ditimpa kesempitan, maka dia bersabar dan itu pun baik baginya.” (HR
Muslim)
2. Meneladani orang-orang yang sholih dan sukses
Yang dimaksudkan di sini adalah orang yang telah
memberikan sumbangsih yang besar dan luar biasa bagi umat manusia dan dia
adalah orang yang beriman kepada Allah subhanahu wata’ala. Yang pertama
dan utama adalah panutan kita Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam. Dengan mengikuti jalannya, maka seseorang akan bahagia dan dengan
meninggalkan petunjuk dan sunnahnya, maka seseorang akan celaka.
3. Memahami arti sebuah kehidupan
Hidup pasti akan menghadapi masalah, mendapati
kesusahan dan pasti ada rintangan dan ujian. Semua ini merupakan ketetapan dari
Allah swt. terhadap manusia, supaya diketahui mana orang yang lebih baik
amalnya. Maka wajib bagi kita untuk mengenal karakteristik hidup ini dan
menerima sebagaimana wajarnya dan tidak menutup diri untuk menghadapi ketentuan
Allah, menghadapi yang tidak kita senangi dengan sesuatu yang dapat
menghilangkannya. Mengetahui permasalahan ini bukan berarti pasrah dan putus
asa, tetapi justru bersikap sebaliknya.
4. Mengubah Kebiasaan Negatif Menjadi Positif
Dr. Ahmad al-Bara' al-Amiri mengatakan bahwa memulai
kebiasaan baru yang bersifat aqliyah/rasional (bisa dinalar dan
dipikirkan) itu tidak sulit, dibutuhkan kira-kira 21 hari. Dalam hari-hari
tersebut kita berfikir, berbincang-bincang, lalu mengusahakan segala yang bisa
mendukung untuk terwujudnya kebiasaan baru itu, dan terakhir kita menggambarkan
dengan jelas dan sempurna bahwa diri kita telah menjadi yang kita inginkan.
Jika kita telah berfikir bahwa kita telah menjadi yang baru sebagaimana kita
kehendaki, maka gambaran ini secara bertahap akan menjadi sebuah realita. Hal
ini seperti diungkapkan bahwa "al hilm bittahallum wal ilm
bitta'allum" sikap lembut dicapai dengan selalu berusaha lembut dan
ilmu itu diraih dengan belajar. (Durus nafsiyah li an-najah wa at-tafawwuq).
5. Memiliki tujuan hidup yang mulia
Banyak orang yang celaka karena dia tidak memiliki
sasaran dan tujuan yang dia usahakan agar terealisasi. Atau dia punya tujuan
tetapi bukan sesuatu yang mulia dan tinggi sehingga dia tidak merasa bahagia
tatkala berusaha menggapainya. Sedangkan tujuan yang mulia, maka akan menjadikan
seseorang merasa bahagia ketika sedang berusaha untuk mencapainya.
6. Berusaha untuk meringankan derita
Orang hidup pasti mengalami musibah dan derita, namun
tak selayaknya musibah itu disikapi sebagai akhir dari segalanya, dan jangan
beranggapan bahwa hanya dirinyalah yang mendapatkan ujian hidup. Bahkan
selayaknya dia memperingankan musibah dan tidak terlalu membesar-besarkannya.
Istilah lain, “masalah besar dikecilkan dan masalah kecil dihilangkan”. Hal
sepele jangan dibuat resah dan dibesar-besarkan.
7. Kebahagiaan sebenarnya ada pada diri kita sendiri
Jika bahagia itu ada pada diri kita, maka mengapa
harus jauh-jauh mencarinya, karena setiap manusia punya kekuatan dan potensi
bahagia, tetapi kebanyakan mereka tidak mau melihatnya. Sebabnya adalah karena
dia tidak pernah memperhatikan diri sendiri, tetapi sibuk melihat orang lain.
Kebahagiaan terkadang ada di depan mata, tetapi kita tidak mengetahuinya,
sehingga justru mencarinya lagi kepada yang lebih jauh dan semakin jauh.
Sungguh berbahagialah bagi mereka yang telah merasakan
kebahagiaan dalam hidupnya, karena yang dicari dalam hidup ini adalah sebuah
kata atau ungkapan yakni, “kebahagiaan”, baik didunia maupun diakherat,
“Hasanah fi ad-Dunya wa Hasanah fi al-Akhiroh”. Demikian makna hakikat dari
sebuah kebahagiaan, semoga bermanfaat dan menjadi I’tibar bagi kita semua dalam
mengarungi kehidupan yang hanya sementara ini. Wallahu A’lam bi as-Showab.
ASAL USUL KUMANDANG ADZAN
ASAL USUL
KUMANDANG ADZAN
( Sebagai panggilan shalat )
( Riwayat : Anas r.a; Abu Dawud; Al Bukhari )
Seiring dengan berlalunya waktu, para pemeluk agama Islam yang semula sedikit, bukannya semakin surut jumlahnya. Betapa hebatnya perjuangan yang harus dihadapi untuk menegakkan syiar agama ini tidak membuatnya musnah. Kebenaran memang tidak dapat dmusnahkan. Semakin hari semakin bertambah banyak saja orang-orang yang menjadi penganutnya.
Demikian pula dengan penduduk dikota Madinah, yang merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam pada masa-masa awalnya. Sudah sebagian tersebar dari penduduk yang ada dikota itu sudah menerima Islam sebagai agamanya. Ketika orang-orang Islam masih sedikit jumlahnya, tidaklah sulit bagi mereka untuk bisa berkumpul bersama-sama untuk menunaikan sholat berjama`ah. Kini, hal itu tidak mudah lagi mengingat setiap penduduk tentu mempunyai ragam kesibukan yang tidak sama. Kesibukan yang tinggi pada setiap orang tentu mempunyai potensi terhadap kealpaan ataupun kelalaian pada masing-masing orang untuk menunaikan sholat pada waktunya. Dan tentunya, kalau hal ini dapat terjadi dan kemudian terus-menerus berulang, maka bisa dipikirkan bagaimana jadinya para pemeluk Islam. Ini adalah satu persoalan yang cukup berat yang perlu segera dicarikan jalan keluarnya.
Pada masa itu, memang belum ada cara yang tepat untuk memanggil orang sholat. Orang-orang biasanya berkumpul dimasjid masing-masing menurut waktu dan kesempatan yang dimilikinya. Bila sudah banyak terkumpul orang, barulah sholat jama`ah dimulai. Atas timbulnya dinamika pemikiran diatas, maka timbul kebutuhan untuk mencari suatu cara yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mengingatkan dan memanggil orang-orang untuk sholat tepat pada waktunya tiba. Ada banyak pemikiran yang diusulkan. Ada sahabat yang menyarankan bahwa manakala waktu sholat tiba, maka segera dinyalakan api pada tempat yang tinggi dimana orang-orang bisa dengan mudah melihat ketempat itu, atau setidak-tidaknya asapnya bisa dilihat orang walaupun ia berada ditempat yang jauh. Ada yang menyarankan untuk membunyikan lonceng. Ada juga yang mengusulkan untuk meniup tanduk kambing. Pendeknya ada banyak saran yang timbul.
Saran-saran diatas memang cukup representatif. Tapi banyak sahabat juga yang kurang setuju bahkan ada yang terang-terangan menolaknya. Alasannya sederhana saja : itu adalah cara-cara lama yang biasanya telah dipraktekkan oleh kaum Yahudi. Rupanya banyak sahabat yang mengkhawatirkan image yang bisa timbul bila cara-cara dari kaum kafir digunakan. Maka disepakatilah untuk mencari cara-cara lain. Lantas, ada usul dari Umar r.a jikalau ditunjuk seseorang yang bertindak sebagai pemanggil kaum Muslim untuk sholat pada setiap masuknya waktu sholat. Saran ini agaknya bisa diterima oleh semua orang, Rasulullah SAW juga menyetujuinya. Sekarang yang menjadi persoalan bagaimana itu bisa dilakukan ? Abu Dawud mengisahkan bahwa Abdullah bin Zaid r.a meriwayatkan sbb : "Ketika cara memanggil kaum muslimin untuk sholat dimusyawarahkan, suatu malam dalam tidurku aku bermimpi. Aku melihat ada seseorang sedang menenteng sebuah lonceng. Aku dekati orang itu dan bertanya kepadanya apakah ia ada maksud hendak menjual lonceng itu. Jika memang begitu aku memintanya untuk menjual kepadaku saja. Orang tersebut malah bertanya," Untuk apa ?
Aku menjawabnya,"Bahwa dengan membunyikan lonceng itu, kami dapat memanggil kaum muslim untuk menunaikan sholat." Orang itu berkata lagi,"Maukah kau kuajari cara yang lebih baik ?" Dan aku menjawab " Ya !" Lalu dia berkata lagi, dan kali ini dengan suara yang amat lantang ," Allahu Akbar,?Allahu Akbar?.."
Ketika esoknya aku bangun, aku menemui Rasulullah SAW dan menceritakan perihal mimpi itu kepada beliau. Dan beliau berkata,"Itu mimpi yang sebetulnya nyata. Berdirilah disamping Bilal dan ajarilah dia bagaimana mengucapkan kalimat itu. Dia harus mengumandangkan adzan seperti itu dan dia memiliki suara yang amat lantang." Lalu akupun melakukan hal itu bersama Bilal." Rupanya, mimpi serupa dialami pula oleh Umar r.a, ia juga menceritakannya kepada Rasulullah SAW . Nabi SAW bersyukur kepada Allah SWT atas semua ini.
( Sebagai panggilan shalat )
( Riwayat : Anas r.a; Abu Dawud; Al Bukhari )
Seiring dengan berlalunya waktu, para pemeluk agama Islam yang semula sedikit, bukannya semakin surut jumlahnya. Betapa hebatnya perjuangan yang harus dihadapi untuk menegakkan syiar agama ini tidak membuatnya musnah. Kebenaran memang tidak dapat dmusnahkan. Semakin hari semakin bertambah banyak saja orang-orang yang menjadi penganutnya.
Demikian pula dengan penduduk dikota Madinah, yang merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam pada masa-masa awalnya. Sudah sebagian tersebar dari penduduk yang ada dikota itu sudah menerima Islam sebagai agamanya. Ketika orang-orang Islam masih sedikit jumlahnya, tidaklah sulit bagi mereka untuk bisa berkumpul bersama-sama untuk menunaikan sholat berjama`ah. Kini, hal itu tidak mudah lagi mengingat setiap penduduk tentu mempunyai ragam kesibukan yang tidak sama. Kesibukan yang tinggi pada setiap orang tentu mempunyai potensi terhadap kealpaan ataupun kelalaian pada masing-masing orang untuk menunaikan sholat pada waktunya. Dan tentunya, kalau hal ini dapat terjadi dan kemudian terus-menerus berulang, maka bisa dipikirkan bagaimana jadinya para pemeluk Islam. Ini adalah satu persoalan yang cukup berat yang perlu segera dicarikan jalan keluarnya.
Pada masa itu, memang belum ada cara yang tepat untuk memanggil orang sholat. Orang-orang biasanya berkumpul dimasjid masing-masing menurut waktu dan kesempatan yang dimilikinya. Bila sudah banyak terkumpul orang, barulah sholat jama`ah dimulai. Atas timbulnya dinamika pemikiran diatas, maka timbul kebutuhan untuk mencari suatu cara yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mengingatkan dan memanggil orang-orang untuk sholat tepat pada waktunya tiba. Ada banyak pemikiran yang diusulkan. Ada sahabat yang menyarankan bahwa manakala waktu sholat tiba, maka segera dinyalakan api pada tempat yang tinggi dimana orang-orang bisa dengan mudah melihat ketempat itu, atau setidak-tidaknya asapnya bisa dilihat orang walaupun ia berada ditempat yang jauh. Ada yang menyarankan untuk membunyikan lonceng. Ada juga yang mengusulkan untuk meniup tanduk kambing. Pendeknya ada banyak saran yang timbul.
Saran-saran diatas memang cukup representatif. Tapi banyak sahabat juga yang kurang setuju bahkan ada yang terang-terangan menolaknya. Alasannya sederhana saja : itu adalah cara-cara lama yang biasanya telah dipraktekkan oleh kaum Yahudi. Rupanya banyak sahabat yang mengkhawatirkan image yang bisa timbul bila cara-cara dari kaum kafir digunakan. Maka disepakatilah untuk mencari cara-cara lain. Lantas, ada usul dari Umar r.a jikalau ditunjuk seseorang yang bertindak sebagai pemanggil kaum Muslim untuk sholat pada setiap masuknya waktu sholat. Saran ini agaknya bisa diterima oleh semua orang, Rasulullah SAW juga menyetujuinya. Sekarang yang menjadi persoalan bagaimana itu bisa dilakukan ? Abu Dawud mengisahkan bahwa Abdullah bin Zaid r.a meriwayatkan sbb : "Ketika cara memanggil kaum muslimin untuk sholat dimusyawarahkan, suatu malam dalam tidurku aku bermimpi. Aku melihat ada seseorang sedang menenteng sebuah lonceng. Aku dekati orang itu dan bertanya kepadanya apakah ia ada maksud hendak menjual lonceng itu. Jika memang begitu aku memintanya untuk menjual kepadaku saja. Orang tersebut malah bertanya," Untuk apa ?
Aku menjawabnya,"Bahwa dengan membunyikan lonceng itu, kami dapat memanggil kaum muslim untuk menunaikan sholat." Orang itu berkata lagi,"Maukah kau kuajari cara yang lebih baik ?" Dan aku menjawab " Ya !" Lalu dia berkata lagi, dan kali ini dengan suara yang amat lantang ," Allahu Akbar,?Allahu Akbar?.."
Ketika esoknya aku bangun, aku menemui Rasulullah SAW dan menceritakan perihal mimpi itu kepada beliau. Dan beliau berkata,"Itu mimpi yang sebetulnya nyata. Berdirilah disamping Bilal dan ajarilah dia bagaimana mengucapkan kalimat itu. Dia harus mengumandangkan adzan seperti itu dan dia memiliki suara yang amat lantang." Lalu akupun melakukan hal itu bersama Bilal." Rupanya, mimpi serupa dialami pula oleh Umar r.a, ia juga menceritakannya kepada Rasulullah SAW . Nabi SAW bersyukur kepada Allah SWT atas semua ini.
Jumat, 01 Juni 2012
Hadits Maudhu'
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Kata Pengantar
Seluruh umat Islam, baik ahli naqli atau aqli telah sepakat bahwa
hadist merupakan salah satu sumber hukum Islam dan bahwa seluruh umat Isalm
diwajibkan mengikitinya sebagaimana al-Quran. Tegasnya bahwa al-Quran dan
al-Hadist merupakan dua sumber hukum Islam yang tetap, sehingga yang orang
Islam tidak mungkin mampu memahami syariat Islam, tanpa kembali kepada kedua
sumber tersebut. Mujtahid dan
orang-orang alim pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah
satu dari kedua sumber itu.[1]
B.
Rumusan Masalah
a) Apakah yang dimaksud dengan Hadits Maudhu’?
b) Apakah Ciri – Ciri dari Hadits Maudhu’?
c) Apakah Hukum Meriwayatkan Hadits Maudhu’?
C.
Tujuan
a) Mengetahui Apa yang dimaksud dengan Hadits Maudhu’.
b) Mengetahui Ciri – Ciri dari Hadits Maudhu’.
c) Mengetahui Hukum Meriwayatkan Hadits Maudhu’.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadits Maudhu’
Secara etimologi kata Maudhu’ adalah isim maf’ul dari kata
wadha’ayang berarti al-isqath ( menggugurkan), al-tark ( meninggalkan),
al-iftira’ ( mengada-ngada). Sedangkan secara terminologi, menurut Ibn Shalah
dan di ikuti oleh Nawawi, Hadist Maudhu’ adalah sesuatu Hadist yang diciptakan
dan dibuat.[2]
Menurut
istilah ahli Hadits, Hadits Maudhu’ adalah:
مَانُسِبَ اِلَي
رَسُلِ اللهِ صَلَّي اللهُ عَليهِ وَسَلَّمَ اِخْتِلاَقًا وَكَذَبًا مِمَّا لَمْ يَقُلْهُ
اَوْيُقِرْهُ وَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ الْمُخْتَلَقُ الْمَوْضُوْعِ
“Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah Saw. Secara dibuat-buat
dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan tidak memperbuatnya. Sebagian mereka
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits maudhu’ ialah hadits yang
dibuat-buat.
Sebahagian
ulama mendefinisikan Hadits Maudhu’ adalah:
هُوَ الْمُخْتَلَعُ
الْمَصْنُوْعُ الْمَنْسُوْبُ اِلَي رَسُوْلِ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
زَوْرًٰ وَ بُحْتَانًا سَوَٰ ءٌ كَانَ ذَٰ لِكَ عَمْدًٰ اَوْ خَطَأً
“Hadits
yang diciptakan dan dibuat oleh seseorang (pendusta) yang dinisbahkan kepada
Rasulullah secara apaksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak.”
B.
Ciri-Ciri Hadits Maudhu’[3]
a)
Ciri-ciri yang terdapat pada sanad.
a.
Pengakuan sendiri dari pembuat Hadist Maudu’. Maisarah ibn
Abdir-Rabiah Al- Farisi mengaku, bahwa ia telah membuat Hadist maudu’ tentang
keutamaan-keutamaan al-Quran , juga ia mengaku telah memaudu’kan 70 Hadist
tentang keutamaan Ali R.a
b.
Kenyataan sejarah bahwa perawi itu tidak ditemukan/tidak sezaman
dengan orang yang dikatakan gurunya.
Seperti, Ma’mun ibn Ahmad Al-Harawi mengaku mendengar hadist dari Hisyam ibn
Hammar. Al-Hafidh ibn Hibban menanyakan: bilakah Ma’mun datang ke Negari Syam?
Ma’mun menjawab: th 250. Maka Ibn Hibban mengatakan bahwa Hisyam itu meninggal
pada tahun 245. Ma’mun menjawab, itu Hisyam yang lain.
c.
Keadaan perawi itu sendiri terkenal kedustaannya.
b)
Ciri-ciri yang terdapat pada matan
a.
Berlawanan terhadap akal. Misalnya :
من اتخذ د يكا ابيض لم يقربه شيطان
“ Barangsiapa
memelihara ayam putih, niscaya tidak didekati sayitan”
b.
Berlawanan dengan al-Quran, contohnya;
“ Umur dunia
itu 7000 tahun dan sekarang datang pada ribuan yang ketujuh”.
c.
Berlawanan dengan sunnah/Hadist Mutawatir, misalnya Hadist yang
mendewa-dewakan orang yang memakai nama “Muhammad” atau “Ahmad”
“Bahwa
tiap orang yang dinamakan Muhammad atau Ahmad tidak akan masuk neraka”.
“
Bahwa tiap orang yang dinamakan Muhammad atau Ahmad tidak akan masuk neraka”.
d.
Berlawanan dengan ijma’ yang dimufakati. Misalnya ; Hadist yang
diperkuat oleh golongan Syiah untuk mempertahankan Ali R.a
Cara-cara
mereka membuat Hadist Maudu’. Ada 3 cara membuat Hadist Maudu’ yaitu;
1.
Pembuatan hadist itu, membuatnya didorong oleh pemikirannya
sendiri. Seperti;
“Perut
adalah rumah penyakit, sedang membatasi makan adalah kepala segala obat”.
Al-Iraqi
menjelaskan, bhwa perkataan ini, sama sekali tidak berasal daripada ucapan Nabi
Saw, itu hanya diambil dari perkataan sebagian dokter/tabib.
2.
Meriwayatkan perkataan dari kata-katanya sendiri itu hukama atau
ulama, kemudian dibangsakannya kepada Nabi Saw. Seperti Hadist yang
diriwayatkan oleh Ibn Abid-Duniya.
“Mencintai
dunia adalah kepala segala kejahatan”.
Menurut
Al-Iraqi, bahwa perkataan itu adalah perkataan Malik Bin Dinar.
3.
Yang dirawikan oleh perawinya bukan maksud memasukkan Hadist tetapi
terjadi karena salah sangka, Umpamanya, Hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Majah
dari Ismail bin Muhammad At-Tulaikhi dari Tsabit bin Musa Al-Abid dari Syarik
dari Al-Amasy dari Abu Sufyan dari Jabir dari Nabi Saw, ujarnya:
“ Barangsiapa
yang banyak shalatnya di waktu malam niscaya bagus di siang hari”.
C.
Hukum meriwayatkan Hadist
Maudu’
a.
Sekali-kali tidak diperbolehkan meriwayatkan sesuatu Hadist maudu’
dengan menyandarkan kepada Nabi Saw kecuali ia menerangkan kepalsuan Hadist
itu. Sabda Rasulallah Saw
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُعْتَمِدًٰ فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“ barang siapa berbuat dusta terhadap diriku dengan sengaja, maka
tersedialah tempat duduknya dalam neraka “
b.
Dalam segala keadaan dilarang membuat Hadist, baik dalam urusan
hukum, urusan cerita-cerita, urusan rangsangan/targhib dan urusan
ancaman/tarhib, yakni sengaja membuat-buat Hadist hukumnya haram.
مَنْ حَدَّثَ عَنِّ بِحَدِيْثٍ يَرَي
أَنَّهُ كَاذِبًا فَهُوَ أَحَدُ الْكَذَّٰبِيْنَ
“ Barangsiapa menceritakan kepadaku sesuatu Hadist, sedang ia tahu
itu bukan Hadsitku, maka masuklah ia ke dalam golongan orang dusta “
D.
Sebab-sebab timbulnya Hadist Maudu’
Dorong-dorongan yang menyebabkan mengada-ngadakan Hadist palsu
banyak sekali, antara lain;[4]
a.
Perbuatan kaum zindik ( yang
pada lahirnya mereka Islam, tetapi bathinnya hendak merusak Islam). Hammad bin
Zaid berkata : Bahwa kaum Zindik telah membuat Hadist palsu lebih kurang 14.000
Hadist.
b.
Karena saling mempertahankan ideologi golongan/partainya. Seperti
Ø Golongan Syi’ah
membuat Hadist Maudu’ untuk menentang dan menjelek-jelekkan golongan Muawiyah,
seperti
إِذَٰ رَأَيْتُمْ
مُعَاوِيَةً عَلَي مِنْبَرِيْ فَاقْتُلُوْهُ
“ Apabila kamu
melihat Muawiyah berada di atas mimbarku maka bunuhlah ia”
c.
Karena kefanatikan dan kultus individu terhadap pemimpinnya.
Umpamanya, mereka yang mendewa-dewakan Imam Abu Hanifah, dan membuat hadist
Maudu’
سَيَكُوْنُ رَجُلٌ
فِيْ أُمَّتِي يُقَالُ لَهُ اَبُوْ حَنِيفَةِ النُّعْمَانُ هُوَ سِرَاجٌ اُمَّتِي
“ Rasulullah
Saw bersabda ; Bakal lahir seorang laki-laki dalam ummatku ini orang yang
bernama Abu Hanifah An-Nu’man, sebagai pelita umatku”
d.
Karena maksud untuk menarik perhatian para pendengarnya, juru-juru
dakwah/muballigh berani membuat kisah-kisah dan nasihat-nasihat.
e.
Karena maksud mencari-cari muka di hadapan para penguasa untuk
mencari kedudukan atau untuk membenarkan pendiriannya.
E.
sejarah dan Perkembangan Hadits Maudhu’
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya
pemalsuan hadist, apakah telah terjadi sejak masa Nabi Saw masih hidup, atau
sesudah masa beliau. Di antara pendapat-pendapat tersebut adalah:[5]
a)
Sebagian para ahli berpendapat bahwa pemalsuan hadist telah terjadi
sejak masa Rasulullah Saw masih hidup. Pendapat ini dikemukakan oleh Ahmad
Amin. Argumen yang dikemukakan oleh Ahmad Amin adalah Hadist Nabi Saw yang
menyatakan, bahwa barang siapa yang secara sengaja membuat berita bohong dengan
mengatas namakan Nabi, maka hendaklah orang itu bersiap-sia menempati tempat
duduknya di neraka. Hadist tersebut, menurut Ahmad Amin, memberikan gambaran
bahwa kemungkinan besar telah terjadi pemalsuan Hadist pada Zaman Nabi Saw.
b)
Shalah al-Din al-Adhabi berpendapat bahwa pemalsuan Hadist yang
sifatnya semata-mata melakukan kebohongan terhadap Nabi Saw, atau dalam
pengertiannya yang pertama mengenai al-wadh’ sebagaimana yang telah
diuraikan dimuka, dan berhubungan dengan masalah keduniawian telah terjadi pada
zaman Nabi, dan hal itu dilakukan oleh orang munafik.
c)
Kebanyakan Ulama Hadist berpendapat, bahwa pemalsuan Hadist baru
terjadi untuk pertana kalinya adalah setelah 40 H,pada masa kekhalifahan Ali
Bin Abi Thalib, yaitu setelah terjadinya perpecahan politik antara kelompok Ali
di satu pihak dan Muawiyah dengan pendukungnya di pihak lain.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belum terdapat bukti
yang kuat tentang telah terjadinya pemalsuan Hadist pada masa Nabi Saw, demikian
juga pada masa-masa sahabat sebelum pemerintahan Ali Bin Abi Thalib. Hal
demikian adalah karena begitu kerasnya peringatan yang diberikan Nabi Saw
terhadap orang yang berani mengatasnamakannya.
F.
Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Munculnya Hadits Maudhu’
Data sejarah menunjukkan bahwa pemalsuan Hadist tidak hanya
dilakukan oleh orang-orang Islam, bahkan jug dilakukan oleh orang-orang
non-Islam. Banyak motif yang mendorong pembuatan Hadist Maudu’, diantaranya
adalah:[6]
1)
Motif Politik
2)
Usah dari Kaum Zindik
3)
Sikap fanatik buta terhadap bangsa, suku, bangsa, negeri, atau
pemimpin.
4)
Pembua cerita atau kisah-kisah
5)
Perbedaan pendapat dalam masalah fiqih atau Ilmu Kalam
6)
Semangat yang berlebihan dalam beribadah tanpa didasari ilmu
pengetahuan
7)
Mendekatkan diri kepada para penguasa. Umpamanya, Ghayats ibn
Ibrahim, yang ketika memasuki istana khalifah Al-Mahdi, dilihatnya Al-Mahdi
sedang melaga burung merpati, maka Ghayats berkata, sabda Nabi “ tidak ada
perlombaan kecuali dalam memanah, balapan unta, pacuan kuda, maka Ghayats
menambahkan “atau burung merpati”.Menyadari perkataan Ghayats, Al-Mahdi
akhirnya memerintahkan untuk menyembelih merpati tersebut, setelah memberi
hadiah sejumlah 10.000 dirham kepada Ghayats.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa ada di antara para pemalsu
Hadist tersebut yang dengan sengaja menciptakan Hadist palsu dengan keyakinan
dengan tindakannya itu diperbolehkan, atau ada pula yang tidak tahu tentang
status pekerjaan itu. Ada di antaranya mempunyai tujuan positif, akan tetapi
bagaimana pun alasan motif mereka, perbuatan memalsukan Hadist tersebut adalah
tercela dan tidak dapat di terima.
G.
Upaya penanggulangan hadist maudhu’
Dalam penaggulangan Hadist-hadist Maudhu’ agar tidak berkembang dan
semakin meluas, serta agar terpeliharanya Hadist-hadist Nabi Saw dari
tercampur dengan yang bukan Hadist, Para
Ulama Hadist telah merumuskan langkah-langkag yang dapat mengantisipasi
problema Hadist Maudhu’ ini. Langkah-langkah tersebut adalah:[7]
a.
Memelihara Sanad Hadist
b.
Meningkatkan kesungguhan dalam meneliti Hadist
c.
Menyelidiki dan membasmi kebohongan yang dilakukan terhadap Hadist
d.
Menerangkan keadaan para perawi
e.
Membuat kaidah-kaidah untuk menentukan Hadist Maudhu’
BAB III
PENUTUp
A.
Kesimpulan
Secara etimologi kata Maudhu’ adalah isim maf’ul dari kata wadha’ayang
berarti al-isqath ( menggugurkan), al-tark ( meninggalkan), al-iftira’ (
mengada-ngada). Sedangkan secara terminologi, menurut Ibn Shalah dan di ikuti
oleh Nawawi, Hadist Maudhu’ adalah sesuatu Hadist yang diciptakan dan dibuat
Sekali-kali tidak diperbolehkan meriwayatkan sesuatu Hadist maudu’
dengan menyandarkan kepada Nabi Saw kecuali ia menerangkan kepalsuan Hadist
itu. Sabda Rasulallah Saw
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُعْتَمِدًٰ فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“ barang siapa berbuat dusta terhadap diriku dengan sengaja, maka
tersedialah tempat duduknya dalam neraka “
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya
pemalsuan hadist, apakah telah terjadi sejak masa Nabi Saw masih hidup, atau
sesudah masa beliau.
B.
Kritik dan Saran
Teman-teman
sekalian, semoga makalah ini dapat berguna bagi kita dalam memahami Ulumul
Qur’an, Khususnya dalam Hadits Maudhu’. Kami menyadari bahwa makalah ini sangat
jauh dari kesempurnaan, kritik dan saran yang bersifat membangun dari teman
teman sangat kami harapkan guna kesempurnaan makalah ini dimasa mendatang.
DAFTAR
PUSTAKA
Yuslem Nawir, Ulumul
Hadis, (Jakarta: PT.Mutiara Sumber Widya, 1997)
Zahri Mustafa, Kunci
Memahami Musthalahul Hadis, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1980)
Mudasir, Ilmu
Hadis, (Bandung: CV. Pustaka setia, 1999)
Langganan:
Postingan (Atom)